Kamis, 23 Oktober 2008

Balada Seorang Penyiar

BALADA SEORANG PENYIAR
-kie-


“ya.. Boys sepertinya Amel harus segera cabut dari program Breakfast pagi ini… jangan lupa ya, dengerin terus program Breakfast tiap senin sampe jum’at, jam tujuh sampe jam sembilan pagi di seratus satu poin lima MR. Mister FM ‘just for male’, I have to go.. have a great Monday…. Bye…” kulepaskan headset dari telingaku lalu kunaikan mixer memutar lagu Linkin Park sebagai lagu penutup.
Ya… itu lah rutinitasku sehari-hari, sudah hampir empat tahun aku bekerja sebagai Penyiar di radio MR. FM (baca : Mister FM), radio segmentasi khusus pria, dimana semua program acaranya membahas dari A sampai Z mengenai anak Adam dan aktifitasnya sehari-hari. Karier ku dimulai saat aku menempuh Kuliah di salah satu Universitas Swasta, saat usiaku baru sembilan belas tahun aku sudah mulai mencoba untuk melamar di berbagai stasiun radio di kotaku, ya.. karena menjadi penyiar adalah cita-cita ku. Sampai akhirnya aku di terima sebagai Penyiar di Radio MR. FM. Sekarang setelah beberapa bulan yang lalu aku menyelesaikan kuliah, aku resmi menjadi karyawan tetap yang bekerja selama delapan jam sehari bukan lagi pegawai freelance yang gajinya pun pas-pasan.
“Mel.. telpon tuh dari penggemar beratmu!” teriak Rusdi dari balik kaca ruang siaran yang menurutku lebih mirip Aquarium raksasa. Rusdi adalah Music Director di tempatku kerja, usianyapun sama 22 tahun. Kalau berbicara tentang musik Rusdi jagonya, mulai dari pop, rock, R n B, dangdut, sampai keroncong dia benar-benar paham.
“Duh Di… kenapa dibilang ada, bilang aku lagi keluar kek, lagi boker kek, atau apalah…males banget trima telepon dari dia..” keluhku
“wah.. kalau sama pendengar nggak boleh gitu Mel, apalagi dia penggemar berat mu.. sampe-sampe saking beratnya kursi di ruang tamu tuh nggak muat hehe…” Rusdi mengejekku, dan ku balas dengan senyum kecut.
Dengan gontai aku menuju ruang administrasi, ku angkat telepon dengan malas-malasan “ya Halo disini Amel…”
“Mel…saya Barjo” dari suara khasnya yang parau aku sudah tahu kalau pemilik suara di seberang sana itu Barjo.
“Amel ada acara apa abis ini? Saya traktir makan siang yuk, sambil ngobrol.. terserah Amel mau makan di mana aja tinggal pilih.. mau ya?! Nanti saya langsung jemput kamu di radio” lanjut nya.
“ehm.. Pak.. eh Mas.. maaf banget yah… saya ada meeting jam sebelas nanti, jadi maaf banget saya nggak bisa ninggalin kantor” aku berbohong untuk ‘menyelamatkan diri’.
“yah… sayang sekali.. hm.. kalau gitu nanti kalau Amel nggak ada acara, telpon saya ya.. nanti saya ajak jalan-jalan..”
Aku bukanlah anak kecil yang termakan rayuan ‘jalan-jalan’ lagi pula aku tak kan punya waktu untuk Barjo, pikirku.
“hm.. Ok Mas nanti saya telpon, maaf Mas saya masih ada tugas.. sampe ketemu ya.. makasih” aku langsung menutup telepon.
Sedikit cerita tentang Barjo, boleh di bilang si Barjo adalah tipikal manusia ‘tua-tua keladi’, entah karena puber kedua atau memang sifatnya yang suka merayu. Dia adalah seorang pendengar acara ku, dan jika boleh sedikit sombong, dia adalah salah satu penggemarku, penggemar berat bahkan. Rata-rata pendengar radio tempatku bekerja adalah lelaki berusia 20 sampai 35 tahun, semacam eksutif muda atau mereka yang sedang menyelesaikan perkuliahan, tapi entah mengapa si Barjo (yang sepantasnya ku panggil mbah Barjo) masih bisa paham dengan acara yang kupandu, padahal isi acaranya seputar pergaulan kaum muda. Memang Barjo tergolong eksekutif (yang tidak muda) pria mapan yang sangat berkecukupan, menduduki jabatan penting di tempatnya bekerja, mobil mewah, dan limpahan harta. Tak jarang dia berkunjung ke radio ku dan memberiku hadiah, mulai dari baju, tas, coklat, boneka, sampai yang termewah (menurutku) jam tangan bermerk ‘TISOT’ oleh-oleh saat dia mendapat tugas di luar negeri. Jujur aku senang dengan pemberiannya tapi yang ku takut dia pasti menginginkan sesuatu dariku. Sudah berulang kali aku mencoba menolak saat dia memberiku sesuatu, tapi dia selalu berusaha meyakinkanku bahwa semua pemberiannya ikhlas tanpa pamrih, dan rizki buatku. Ya.. siapa yang bisa menolak rizki seperti itu hehe..
XXX


Seusai siaran aku masih sibuk untuk membuat Adlib untuk produk shampoo khusus pria, pesanan dari klien.
“Mel.. ada tamu ney!!!!” teriak Rusdi dari ruang tamu kantorku.
Aku segera bergegas menuju ruang tamu, ah.. mungkin klien yang menagih Adlib shampoo yang belum selesai kubuat.
“Hai Mel..” sapa seorang paruh baya yang tambun, rambut bagian belakangnya botak, berkulit sawo matang (bahkan sangat matang menurutku), tapi berpakaian rapi dengan balutan Jas dan Dasi yang serasi.
“oh… Mas Barjo, silahkan duduk mas” aku menelan ludah dan salah tingkah. Kurang ajar si Rusdi, padahal sebelumnya aku sudah berpesan jika Barjo menghubungiku bilang saja aku sedang tidak ada di tempat.
“ini Mel oleh-oleh, kemarin saya baru datang dari Makasar, kebetulan ada tugas di sana, maaf ya saya Cuma bisa bawain itu soalnya Cuma sehari di sana jadi nggak sempet puter-puter, cepet dimakan ya..” dia menyerahkan bungkusan foam berisi otak-otak dan buras, makanan khas Makasar.
“oh iya Mas nggak usah repot-repot, ini aja saya udah makasih banget”
“ok dech saya masih ada urusan di kantor, saya pamit dulu ya..”
‘syukur’ batinku.
Aku kembali melanjutkan tugasku, membuat Adlib Shampoo yang lumayan susah, baru kali ini aku kesulitan berkreasi untuk membuat iklan shampoo, ya.. karena klien ku yang satu ini sangat cerewet, banyak sekali permintaannya.
“Mel.. Tamu tuh!!” si Rusdi berteriak lagi
Aduh.. jangan-jangan si Barjo balik lagi “Siapa Di?”
Rusdi menggelengkan kepala.
Ini pasti dari perusahaan shampoo, karena hari ini aku memang ada janji dengan mereka. Segera aku menuju ruang tamu.
Degggg… Jantungku seolah mau copot, entah kenapa keringat dingin mulai muncul. Di ruang tamu, ku jumpai seorang Pria berkulit bersih, tinggi, rapi, usianya mungkin sedikit di atasku, dan yang pasti… dia saangat tampan. ‘dulu kira-kira ibunya ngidam apa ya, bisa melahirkan anak yang sangat tampan seperti ini’ gumanku dalam hati.
“Mbak Amel ya?” sapanya
“oh.. i..iya..”aku mulai sadar kalau dari tadi ternyata aku memandanginya dengan mulut sedikit menganga.
“Saya Bima dari Unilever, pesanan Adlibnya udah jadi mbak? Kalau sudah mau kami ambil untuk di koreksi dulu, nanti kalau Ok bisa langsung di on-air kan”
“oh.. ehm.. maaf Mas, ini masih dalam proses pengerjaan, nanti kalau sudah jadi langsung saya hubung, ehm.. oh iya saya minta nomor HPnya Mas, nanti saya telpon Mas kalau udah fix.” ‘Kesempatan’ pikirku
“ok ini kartu nama Saya… Saya tunggu kabarnya ya Mbak”
Entah kenapa jantungku semakin berdebar, apa lagi dia selalu memandang mataku ketika berbicara (atau mungkin aku saja yang Gede Rasa).
XXX


Hari ini aku gembira sekali, Klienku merasa puas dengan Adlib karyaku, tapi yang lebih menyenangkan lagi aku sudah mulai akrab dengan Bima. Ternyata dia adalah tim promosi di PT. Unilever dan jabatannya itu membuat kita saling berhubungan selama produknya mengiklankan di radio ku. Kita rutin berhubungan walau hanya lewat telepon atau SMS, tapi tak jarang dia mampir ke Radio untuk sekedar menanyakan perkembangan produknya. Atau jangan-jangan dia sekedar basa-basi mampir ke radio untuk bisa bertemu denganku? Hihihi… aku mulai Gede Rasa lagi..
Hari ke hari aku semakin akrab. Bahkan ketika bertemu atau telepon kita membicarakan segala hal selain ‘pekerjaan’, mulai dari musik, hobi, sampai makanan favorit. Tak jarang dia mengajak ku jalan-jalan untuk sekedar mencari makan. Aku merasa semakin dekat dengan Bima, dan Jujur sepertinya aku mulai Jatuh Cinta sama Bima. Ah.. Jatuh Cinta yang kata orang ‘berjuta rasanya’….
Sejenak aku bisa melupakan Barjo, ya dia tadi sempat menelepon di kantor, tapi untung saja Rusdi mau ku ajak kompromi, aku bisa terhindar dari si Barjo.
“Mel kamu gila ya senyum-senyum sendiri?” Tanya Rusdi yang mendapati ku melamun membayangkan wajah tampannya Bima.
“enak aja!” aku langsung mendelik.
“jangan-jangan kamu lagi jatuh cinta sama… ehm.. siapa itu? yang dari Unilever..”
“BIMA?!” jawabku.
“iya Bima, yang kuku nya bisa buat jamu untuk sehat lelaki hehe” goda Rusdi.
“eh.. kurang ajar kutimpuk pake sandal jepit baru tau rasa kamu!!”
“Hai Mel…” sapa Bima dari kejauhan
“Eh Bim.. koq tumben sore-sore gini mampir” aku sedikit terkejut. Rusdi langsung meninggalkan kami dengan tatapan nakalnya.
“ehm.. sekarang bukannya Jam pulang kamu Mel? Aku tadi kebetulan lewat jadi mampir aja sekalian, siapa tau kamu butuh tumpangan untuk pulang.”
Ups.. dia menawariku pulang. “oh.. hm.. nggak ngrepotin nich?” tanyaku malu-malu tapi penuh harap.
“enggak lagi.. yuk aku anterin kamu pulang”
Ditengah perjalanan, Bima mengeluarkan kata-kata yang sudah lama aku tunggu, dia menanyakan apakah aku mau jadi pacarnya.. oh senangnya hati ku. Tanpa pikir panjang aku langsung meng-iyakan. Akhirnya.. lepas sudah status jombloku…serasa ingin terbang melayang…
XXX


Sudah hampir sebulan aku berpacaran dengan Bima, dia selalu menjemputku sepulang kantor. Sore ini Bima sudah menunggu di depan ruang tamu, aku pun bergegas untuk merapikan barang-barangku dan pulang bersama Bima. “Ayo Bim” ajakku.
“AMEL!!!” seseorang dari kejauhan memanggilku.
“Mas Barjo” batinku.
Barjo mendekati kami berdua, “ka..kamu ngapain disini?” tanyanya pada Bima dengan mata terbelalak.
“pa..papa sendiri ngapain disini?”
‘PAPA’ Bima memanggil Barjo ‘PAPA’.. aku jadi pusing…
“oo.. Jadi selama ini Kamu ya Mel yang di kejar-kejar sama Papaku? Tau nggak sich, gara-gara kamu Mama sama Papaku nggak pernah akur di rumah!! Yang ada di pikiran papaku Cuma cewek Idaman lainnya yang ternyata adalah KAMU!!” Bima mulai membentakku.
“Bim.. tunggu dulu.. bukan..seperti itu…..”aku membela diri
“Mulai sekarang kita PUTUS!!!!” Bima berlalu meninggalkan dan Barjo yang sedari tadi cuma memandangi kami bertengkar.
“Mel!!” panggil Barjo yang juga kutinggalkan begitu saja di ruang tamu.
Oh.. nasib ku… gagal sudah aku mendapatkan pria setampan Bima. Yang membuatku penasaran, secantik apakah ibunya hingga bisa melahirkan pria tampan seperti Bima, dengan ayah biologis seperti Barjo?! Haruskah aku menyalahkan Barjo? Ah.. sudahlah.. kupikir ini memang sudah takdirku… susahnya menjadi penyiar yang memiliki pengaggum berat seperti Barjo.. nasib… nasib…

XXX


-Insprd by Mrsudi n’ V-
(28 dec 07)

JARWO

JARWO
-Kie-


2004
Namanya Jarwo.. Hm.. terdengar sangat gagah bukan? Putra asli Madiun, dari kalangan berada, bapaknya kepala sekolah, sedangkan ibunya seorang guru. Selama menempuh pendidikan perkuliahan di kota Malang, tak pernah sekalipun kulihat Jarwo bermasalah dengan uang, padahal banyak teman satu kos nya yang terpaksa ‘puasa’ karena kiriman uang dari orang tuanya terlambat. Yah.. itulah untungnya menjadi seorang Jarwo yang anak tunggal.
“Mel.. Amel!!!” teriak Jarwo memanggilku.
“eh Wo.. Kemana aja?! Tadi pagi ada kuliah filsafat komunikasi lho, nggak bisa TA soalnya dosennya sendiri yang ngabsen! Kamu kemana? Kan kemarin udah kukasih tau kalau hari ini ada kuliah tambahan!”
“ah.. kaya nggak tau aja! Biasa.. kemarin abis ‘lembur’ jadi cape banget trus nggak nggak bisa bangun pagi dech…”
“inget lho kita udah semester enam, jangan pacaran terus!! Paling proposal skripsi juga belum kamu bikin?!”
“hehehe abisnya aku lagi jatuh cinta banget nich sama Rendy.. makanya bantuin bikin proposal ya, stuck nich nggak ada ide sama sekali”
Ya.. itulah Jarwo, selalu menganggap remeh masalah pendidikan, baginya semua bisa di beli dengan uang.. aku dan Jarwo sudah bersahabat sejak pertama kami menginjakkan kaki di kampus MERDEKA ini. Jarwo orang yang supel, mudah bergaul, dan setia kawan. Badanya tegap dan sedikit tambun membuat ku selalu merasa aman berada di sampingnya, untuk urusan wajah, Jarwo tak terlalu tampan, yah.. mungkin ku beri dia nilai tujuh untuk urusan wajah…
Tak ada rahasia di antara aku dan Jarwo, bahkan untuk masalah pribadi sekalipun.
“Mel.. ntar nginep di kos ku yu.. bantuin aku bikin proposal” rengek si
Jarwo
“Liat nanti ya Wo, soalnya sore aku ada janji sama Andi… hari ini kan malam minggu”
“aduh… ntar aku dech yang minta ijin sama yayang mu itu”
Tak terhitung berapa kali aku menginap di kos si jarwo, bukan bermaksud apa-apa hanya sekedar main dan mengerjakan tugas perkuliahan bersama. Yah… kos-kosa an jaman sekarang dimana banyak ibu kos yang cuek membiarkan penghuninya memasukkan lawan jenis ke dalam kamar. Meskipun begitu orang tua ku bahkan pacarku sendiri ta pernah cemas jika aku enginap di kos Jarwo, karena mereka tahu Jarwo bukan lelaki ‘biasa’.
XXX


2005
Hari ini hari yang paling kun anti, setelah tiga setengah tahun akhirnya aku mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi. Pagi-pagi benar aku sudah bangun lalu pergi ke salon untuk di make up. Setelah itu aku langsung berangkat ke Gedung Balai Merdeka tempat ku akan di wisuda. Ibu Bapak ku akan menyusul nanti, karena wisudawan di wajibkan hadir lebih pagi.
Setengah tujuh aku sudah berdiri bergerombol bersama teman-teman di pelataran gedung.
“Mel.. Amel!!!” kebiasaan Jarwo yang selalu berteriak ketika memanggilku.
“WAH Wo.. kamu gagah banget pake toga!!! Ibu bapak mu dating kan?”
“ya iyalah.. langsung lho dari Madiun” jawabnya penuh antusias.
“trus yayang mu si Rendy mana?”
“ye.. bisa bisa orang tuaku mati berdiri kalau liat si Rendy” jawab Jarwo
“Apa rencanamu setelah wisuda Wo?” satu hal ini selalu ingin ku tanyakan pada Jarwo, apakah dia akan selama nya menjalani hidupnya yang.. boleh dibilang ‘tak normal’.
“hm…kaya’nya aku jadi ke Makasar dech Mel” Jarwo memang sudah mendapatkan panggilan kerja di salah satu perusahaan provider telepon di Makasar.
“Trus.. berarti kamu bakalan ninggalin Rendy donk… wah susah lho pacaran jarak jauh!”
“Ya enggak lah Mel… si Rendy kan mau ikut ke Makasar, rencananya sich dia mau cari kerja juga di sana biar deket terus hehe…”
“Kamu serius banget ya sama Rendy? Nggak pengen sembuh Wo?”
“Amel, aku nggak bisa bohongi perasaan ku, aku sayang banget sama Rendy, aku nggak peduli orang bilang apa tentang aku.. ku piki ini semua sudah takdir ku Mel..”
TAKDIR?? Benarkah itu semua Takdir Jarwo? Benarkah Tuhan menciptakan ‘Manusia’ seperti Jarwo?
Wah.. sepertinya aku harus segera masuk gedung, panitia sudah membariskan para wisudawan untuk memulai acara wisuda.
XXX


2006
Sudah hampir setahun aku tak bertemu Jarwo. Hubungan kita hanya melalui telepon atau SMS, itu pun sudah semakin jarang karena kesibukan kita masing-masing. Sudah hamper tujuh bulan ini aku bekerja menjadi Customer Service di salah satu bank swasta di Malang, sedangkan Jarwo terakhir ku dengar dia keluar dari pekerjaannya di Makasar dan kembali ke kota asalnya Madiun, Orang tuanya menginginkan supaya Jarwo sekolah lagi untuk mendapatkan Akta 1, yah.. semacam ‘SIM’ untuk mengajar. Mungkin orang tua Jarwo masih menganggap bahwa menjadi seorang Guru atau PNS berarti sudah mendapat ‘jaminan’ seumur hidup, tidak perlu takut dengan PHK, kontrak kerja, dan kelaparan saat masa pensiun.
Tiba-tiba saja hari ini aku merindukan Jarwo, bagaimana kabarnya, dan apakah dia masih menjalin hubungan dengan Rendy. Apakah Jarwo masih menjalin kisah yang tak ‘biasa’ itu?
Ups.. handphone ku berbunyi.. ‘Jarwo’ batinku
“Hallo.. WO!!! Kemana aja? Gimana kabarmu? Aku lagi mikirin kamu lho, pas banget yach.. jangan-jangan kamu punya six sense hehe…” Aku kegirangan mendapat telepon dari Jarwo sahabat lamaku.
“Mel aku sekarang ada di Malang, ehm.. kamu bisa dateng kesini nggak? Di kos ku yang dulu, udah tiga hari aku kos lagi di sini” Jawab Jarwo tanpa semangat.
“Waduh Wo aku masih di kantor, nanti malem jam tujuh dech aku ke tempatmu, kamu kenapa WO? Koq lemes gitu? Kurang makan yach?” candaku.
“bener yach nanti kutunggu di kos, nanti dech aku ceritain semuanya.. Mel udah dulu ya, pulsaku mau abis ney?”
Hm.. Jarwo kehabisan pulsa?? Wah.. ini semakin membuatku penasaran, ada apa dengan Jarwo?
Sebelum jam tujuh aku sudah sampai di kos si Jarwo, di kamar yang dulu, tapi banyak yang berubah… kamar itu terlihat lapang, hanya ada kasur beralaskan tikar dan meja kayu. Padahal dulu sewaktu Jarwo kos disini, hampir semua alat elektronik lengkap terpajang, televisi, Hi-Fi, Komputer, bahkan kulkas kecil untuk menyimpan persediaan makanan pun ada. kudapati Jarwo dan Rendy duduk mengeluarkan sejumlah baju dari tas kopor yang kecil..
“Jarwo!!” panggilku seraya memeluknya meluapkan rasa rinduku.
“Wo.. kangen banget!! Ada angin apa kamu datang ke Malang? Udah dapet A1 Wo? Jangan-jangan udah jadi pak gurur hehe…”
Jarwo tampak murung “Mel.. aku di usir bapak ku, orang tuaku sudah tau tentang Rendy, mereka sudah tau kalau aku GAY!!”
Aku terdiam terpaku.
“I..Iya Mel, Jarwo di hajar habis-habisan sama bapaknya” lanjut Rendy
”Koq bisa Wo? Mereka tau dari mana?”
“Entah lah Mel, mungkin mereka sudah curiga tentang kedekatanku dengan Rendy” ungkap Jarwo
“aku nggak tau mesti gimana Mel? Aku nggak sempet bawa apa-apa, uang, baju, ijasah, semua kutinggal di Madiun” Jarwo tampak menitihkan air mata.
XXX


Semenjak kejadian di kos Jarwo, hampir setiap hari aku mengunjunginya. Tak jarang ku bawakan mereka makan malam. Sudah lima bulan Jarwo tinggal di Kos, dia mulai sibuk mencari pekerjaan seadanya, begitu pula dengan Rendy. Tak jarang mereka bekerja serabutan di Toko peracangan di sebelah kos-nya untuk sekedar membayar biaya kos.
Suatu malam ketika aku berada berdua di kos Jarwo..
“Wo.. Kamu nggak ada niat untuk meminta maaf sama orang tua mu? Kamu nggak kasian sama mereka Wo? Kamu kan anak satu-satunya, harapan mereka Cuma kamu Wo”
“Sudahlah Mel… aku sudah memilih jalan hidupku sendiri, aku tau ini akan semakin berat, tapi rasanya akan lebih sakit jika aku mengabaikan perasaanku Mel, rasa cintaku yang mungkin sebagian orang menganggapnya sebagai nafsu… aku sayang sama orang tua ku, tapi mereka nggak bisa menerimaku karena aku seorang Gay.. ini semua bukan kehendakku Mel, Tuhan yang mengatur, kalau boleh memilih.. aku lebih baik tidak dilahirkan di dunia ini, tidak dilahirkan sebagai seorang Gay.. aku nggak bisa memaksakan diri untuk mencintai wanita… tapi aku yakin Tuhan pasti punya maksud menciptakan manusia sepertiku…
Ya.. itulah Jarwo yang lebih memilih cinta daripada kemewahan..
Cinta.. sesuatu yang indah tapi ternyata lebih banyak menyakitkan..
Salahkah Jarwo yang ingin meraih Cinta nya? Bukan kah Cnta itu milik semua? Bukankah Cnta itu kehendak Tuhan? Semua orang pasti menginginkan cinta, bigitu puula dengan Jarwo…
Mungkin benar apa yang dikatakan Jarwo, Tuhan pasti punya rencana untuk orang seperti Jarwo. Meskipun aku sahabatnya, tapi kurasa tak layak untuk menghakimi Jarwo. Walau sebagian orang menganggapnya salah, tapi hanya Tuhan yang berhak mengadili.
Jarwo Cuma manusia biasa yang punya perasaan…
Siapapun dia…
Bagaimanapun dia…
Dia tetaplah sahabatku..
Jarwo.







-Insprd by true stry-

Voice Whitin'

VOICE WITHIN

Oleh : Kie


Dia mulai membukaku, siap merajah lembar demi lembar tubuhku…
Hari ini masih sama seperti kemarin, tangannya gemetar tak sanggup meneruskan tulisannya. Sesaat dia berhenti lalu membanjiriku dengan air mata..
Selama dua tahun aku menjadi miliknya, selalu kesedihan yang di ceritakan. Tak jarang kulihat lebam di mata, memar di pipi, dan uraian air mata. Jika aku tak salah, sudah hampir dua tahun pula dia menikah dengan tengkulak itu. Dia bahkan pernah bercerita tak ingin memiliki keturunan karena takut sifat arogan dan ringan tangan sang suami menurun pada sang anaknya.
Alia nama wanita itu, usianya masih dua puluh lima tahun. Sejak usaha milik sang suami mengalami kebangkrutan, biduk rumah tangganya pun mulai kisruh dan tiada hari tanpa pertengkaran. Lelaki yang dulu sangat mencintainya entah mengapa sekarang menjadi sering gelap mata, sekecil apapun kesalahan yang dilakukan Alia tak pernah luput dari amuknya. Alia semakin tak berdaya dan selama itulah dia mulai akrab denganku.
Hampir setiap hari dia mencurahkan isi hatinya padaku, semua bercerita tentang kekerasan yang dilakukan suaminya. Yah…mungkin hanya aku yang paling di percaya, dan sepertinya Alia tak berani menceritakan segala kejadian yang dialaminya pada orang lain sekalipun sahabatnya.
**


Hari ini Alia menjumpaiku lagi dan mulai mencurahkan keluh kesah. Entah setan apa yang merasuki suaminya, hanya karena secangkir kopi yang terlalu manis dia mendapatkan hadiah cacian dan tamparan. Rupanya kali ini dia sudah di ambang batas sabar, wajahnya nanar… sempat dia mengutarakan niatnya untuk mengakhiri hidupnya supaya bisa terlepas dari beban penderitaan. Seandainya aku bisa berbicara, aku ingin mengatakan bahwa hanya seorang pengecut saja yang mampu membunuh dirinya sendiri..
Lantas….
Ah.. dia tak bisa melanjutkan ceritanya karena sang suami tiba-tiba datang. Dengan sigap Alia menyembunyikanku di bawah kasur..
Entah apa yang terjadi selanjutnya aku tak bisa melihat, yang kudengar hanya suara sayup-sayup Alia tertawa..
TERTAWA??!!
Hmm… suatu yang asing bagiku karena sudah lama aku tak pernah mendengarnya tertawa.
Apakah ini pertanda baik??
**


Rentang seminggu dia baru menjumpaiku. Tak seperti biasa hari ini wajahnya di hiasi senyum. Hanya cerita singkat yang dia sampaikan padaku…
Sang suami baru saja mendapat jatah pembagian warisan dari almarhum orang tuanya, jumlahnya cukup banyak bahkan sangat banyak hingga mampu membeli rumah di tengah kota yang harganya mahal. Alia akan segera meninggalkan rumah kontrakan yang serba sempit ini dan tinggal di rumah baru.
**


Dua bulan berlalu Alia tak pernah menemuiku, menyapaku saja tidak..
Aku kedinginan karena kasur tempatku berlindung sudah dibereskan.. DIBERESKAN??!! Apa mungkin mereka sudah pindah? Ya.. sekelilingku memang sudah kosong, tapi mengapa Alia tak mengajakku?
Aku rindu Alia, tak pernah lagi kulihat tangisan dan keluh yang dia curahkan padaku. Teriakkan suaminya juga tak pernah bergema lagi, malah terakhir kali yang kudengar hanya canda tawa mereka.. syukur jika suami Alia bisa berubah tidak seperti dulu lagi..
Hey.. mungkinkah karena mereka sekarang sudah kaya sehingga tak ada lagi pertengkaran? Mungkin mereka sudah bahagia dengan limpahan harta yang bisa membuat manusia ‘buta’…
OUCH… aku terjatuh dari dipan reyot yang selama ini ku tempati. Kenapa tidak ada yang menolongku? Padahal suara jatuhku cukup keras. Ini membuatku semakin yakin bahwa mereka benar-benar sudah pindah. Tapi mengapa Alia tidak membawaku? Bukankah aku satu-satunya tempat untuk mencurahkan isi hatinya? Yang selalu ada saat hatinya terluka. tapi mengapa dia tidak mengingatku?
Apakah Alia termasuk kebanyakan manusia yang selalu di butakan oleh kebahagiaan?? Selalu bersimpuh pada Tuhan, mengingat Tuhan jika dalam masalah tetapi lupa bila sudah di limpahi bahagia??
Sama halnya denganku… yang selalu dicari ketika susah, namun sekarang terlupakan. Seandainya aku bisa menuntut!! Kurang setiakah aku selama ini?! Tapi mengapa dia tak membalas kesetiaanku? Mengapa dia tak setia padaku?!
Andai aku bisa berteriak… tapi apa dayaku, aku hanyalah buku harian yang terlupakan…

***

Road Diaries

ROAD DIARIES
-kie-

Pernah menonton ‘FOREST GUMP’? film yang bagus menurutku, cerita mengenai pemuda ‘bodoh’ yang mengejar cinta. Satu ungkapan yang paling ku ingat dalam fim tersebut adalah ‘Life is like a box of chocolate, you’ll never know what you get’ hidup seperti sekotak coklat, kau tak kan pernah tau rasa apa yang akan kau makan karena semua warnanya sama. Semacam penegasan mengenai ‘takdir’. Cerita ku ini bukan mengenai ‘takdir’ yang menentukan hidup. Melainkan ‘takdir’ yang membawaku dalam perjalanan menaiki angkutan umum…


Senin, 20 agustus 2007
Entah kenapa aku sedikit benci dengan hari senin, mikrolet (sebutan untuk angkutan umum di kota Malang) yang kunaiki selalu sesak setiap pagi, memaksaku berdiri sedikit lama untuk mendapatkan mikrolet yang bisa mengangkut ku, apalagi jurusan ADL (Arjosari-Dinoyo-Landungsari) yang kutunggu memang tak sebanyak mikrolet jurusan lain. Seperti biasa aku berangkat kerja pukul tujuh pagi, karena perjalanan menuju tempat kerjaku cukup lama sekitar satu jam.
Hari ini mikrolet yang kudapat lumayan penuh, aku duduk tepat di belakang sopir. Ku lihat ada berbagai macam penumpang, lima anak SMA perempuan, satu bapak-bapak yang memakai seragam PemKot, dan satu keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan seorang anaknya yang kira-kira masih berumur enam tahun.
“eh kemarin dengerin radio nggak? Aku kirim salam lho buat Ardi” salah satu anak SMA memecah keheningan.
“aku kemarin denger cuma sebentar sich, ngantuk banget jadi langsung tidur, kemarin yang siaran siapa? Doni bukan?” jawab salah satu temannya.
Ups.. Doni?! Itu nama salah satu teman penyiarku. Aku lupa bilang kalau aku bekerja sebagai penyiar salah satu radio di kota Malang. Apa mungkin mereka sedang membicarakan teman ku? Ku pikir-pikir memang tidak ada penyiar bernama Doni di radio lain selain temanku itu.
“gila suaranya Doni tuh bikin gimana gitu… kira-kira seperti apa ya orangnya?” temannya yang lain menanggapi.
“aku pernah liat fotonya di Friendster. Dia lumayan manis lho..” anak SMA yang lain juga ikut bicara.
“wah… masa sich.. jadi penasaran pengen ketemu langsung!!” empat anak SMA itu menjadi heboh membicarakan mengenai Doni, sedangkan penumpang lain cuma bisa memandangi mereka, layaknya melihat talkshow gossip di TV.
Hm… tak ku sangka hari ini aku satu mikrolet dengan ABG-ABG penggemar si Doni, dia memang popular di antara penyiar lainnya. Kira-kira bagaimana ya jika mereka tahu kalau aku juga salah seorang penyiar di radio itu, dan aku menceritakan bagaimana kebiasaan buruk si-Doni yang sebenarnya jarang mandi jika mendapat tugas siaran pagi, bangun tidur langsung dech siaran hehe…


Selasa, 21 Agustus 2007
Aku masih berdiri menunggu Mikrolet, dalam hati aku membatin ‘moga-moga hari ini ada penumpang yang ganteng dalam mikrolet jadi bisa untuk cuci mata selama dalam perjalanan hehe’. Mikrolet sudah berhenti di depanku, aku segera naik. Hm.. mungkin Tuhan mendengar doa ku, di pojok ku lihat seorang pemuda duduk sendiri. Dari penampilannya mungkin dia seorang mahasiswa, membawa tas ransel sepatu kets, celana jeans, dan kemeja casual kota-kotak. Wajahnya lumayan ganteng, kulitnya bersih walaupun tidak begitu putih, rambutnya rapi. Hm.. kalau artis mungkin dia lebih mirip dengan Dj. Wingky, salah seorang pemain dari Flm Badai pasti berlalu versi baru. Sesekali aku mencuri-curi pandang. Dia terkesan cool, dan terus memandangi keluar jalan lewat jendela belakang.
Wah BroNies nich, Brondong Manis, istilah gaul untuk pemuda yang usianya masih muda tapi lumayan manis. Kira-kira dia sudah punya pacar atau belum ya?
Saat aku membatin tiba-tiba kudengar Handphone nya berbunyi. Kulihat dia langsung mengangkat telponnya.
“hei Jhon.. gimana kabarnya? Eits lambreta nggak ada kabarnya!! sombong banget sich boo nggak pernah telpon-telpon Eike.. . eike kangen nich sama Yei..”
Astaga!!!! hilang sudah perasaan kagum ku sama cowok itu… sayang sekali orang setampan dia ternyata ‘melambai’.. ingin rasanya tertawa, tapi kutahan. Tuhan…ternyata nasib baik belum berpihak padaku hehe…


Rabu, 22 Agustus 2007
Hari ini masih sama seperti kemarin, aku berdiri menunggu mikrolet untuk berangkat menuju kantor ku. Aku tak berani berharap macam-macam, setelah peristiwa yang kemarin.
Aku sudah duduk manis di dalam mikrolet, kudapati seorang ibu bersama anaknya yang kira-kira berusia 10 tahun. Dan wanita tua setengah baya, sepertinya mereka tidak saling kenal. Hari ini mikroletnya cukup sepi, perjalanan pun terasa lancar, sesekali anak kecil itu bercanda dengan ibunya. Sampai di depan lapangan Gajayana, sang anak bertanya.
“Ma itu mau di bikin apa sich?” sembari menunjuk bangunan gedung luas yang masih setengah jadi.
“oh.. itu mau dibikin mall “ jawab sang ibu.
“Putranya ya bu? Pinter ya..” sapa sang ibu setengah baya.mencoba memulai pembicaraan.
“iya, ini lagi flu mau saya bawa ke dokter anak di jalan Ijen”
“Ma..mall nya gede ya, namanya apa ya Ma?” Tanya sang anak lagi.
“oh.. itu namanya Gajayana Town Square”
‘Ha?! Setahu ku ‘calon mall’ itu bernama MOG singkatan dari Malang Olympic Garden.’ Aku membatin, Wah.. wah.. mungkin si-ibu bener-bener nggak tahu atau malah ngarang ya?!.
“iya mall ini kalau sudah Jadi pasti rame” sang ibu paruh baya menanggapi.
“bener bu, pasti MATOS kalah rame” mereka jadi terlibat pembicaraan.
“ya.. ini kan yang membangun walikota Malang, Sujud Pribadi” tambah ibu paruh baya.
Wha.. wah.. bukannya Wali kota Malang bernama Peni Suparto?! Sujud Pribadi itu Bupati Malang. Aku terus membatin.
“tapi semenjak Walikota Sujud Pribadi yang menjabat, Malang jadi tambah banyak fasilitas umum ya Bu, di alun-alun sekarang sudah ada Hot Shot jadi masyarakat gratis main internet disana” mereka semakin asyik membicarakan perkembangan Malang.
Aaarrgghhh.. tidakkkkk…Hot Spot bukan Hot Shot!!!! Seaindainya aku bisa mengkoreksi pembicaraan mereka yang terlihat asyik dan nyambung, padahal banyak informasi yang salah kaprah!! Tapi aku memilih diam, bisa-bisa aku di anggap orang yang suka ikut campur jika aku langsung menyela mereka.
Ku nikmati saja perjalananku dengan mikrolet menuju tempat kerja, sambil sesekali menahan tawa mendengarkan ibu-ibu terus membicarakan sesuatu yang mereka anggap benar..


Kamis, 24 Agustus 2007
Berulang kali kulihat angka-angka dalam jam tangan.
“aduh… aku bisa terlambat nich” batinku sembari mengamati angka di dalam jam tangan yang menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh.
Sudah sekitar sepuluh menit aku berdiri menunggu mikrolet, tapi entah mengapa tak ada satupun ADL yang lewat. Tanpa pikir panjang aku segera memberhentikan mikrolet dengan jurusan lain yang sebenarnya searah dengan tempat kerjaku tapi membutuhkan waktu tempuh yang lebih lama karena jalurnya harus memutar terlebih dahulu. “yang penting dapet angkot” gumanku.
Kupilih duduk di sebelah pak sopir, sambil menghindari desak-desakan kalau penumpang di belakang penuh. Ya.. walaupun kulirik dari kaca spion kursi di belakang masih kosong mlompong tak ada penumpang.
“waduh… ya’opo mbak AREMA kalah maneh! Iki mesti gara-gara wasite mbelingan!!!!” pak Sopir mencoba memulai pembicaraan dengan logat medok nya.
“oh pertandingan yang kemarin ya Pak?!” aku mencoba menanggapi karena kebetulan kemarin aku juga sempat menonton di TV pertandingan sepak bola antara AREMA dan Persiwa yang berakhir bentrok.
“lha iya, gimana nggak emosi kalau wasitnya curang! Masa’ tiga gol AREMA di anulir?! Pantes aja kalau AREMANIA ngamuk!” Pak sopir menggebu-gebu, ku tanggapi dengan senyum.
“lha wong aku aja yang nonton di rumah ikut emosi, apalagi AREMANIA yang langsung nonton di stadion?!” sepanjang perjalanan dia nerapi-api menceritakan kekecewaannya, sesekali juga ku tanggapi singkat. Dalam hati aku berharap agar dia bisa sedikit mempercepat laju angkotnya supaya aku tak terlambat masuk.
“Hoi.. ya’ opo rek AREMA kalah?!” pak sopir menghentikan angkotnya ketika bertemu dengan teman-teman nya yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Akhirnya mereka terlibat pembicaraan yang seru tentang AREMA. ‘aduh… gawat bisa telat nich!’ kataku dalam hati.
Sekitar lima menit pak sopir melanjutkan perjalanannya, ya.. jarak ke kantorku masih harus memakan waktu sekitar setengah jam lagi, dan waktunya benar-benar mepet.
Sepuluh menit berjalan, tepat di depan pasar Dinoyo pak sopir berujar “mjbak sebentar ya, kita berhenti cari penumpang dulu”
ARRRGGGHHHHH TIDAAAAKKKK aku keburu telat, aku berniat turun untuk mengganti angkot lagi “ehm.. pak.. saya…”
“lha iya ya mbak gimana persepak bolaan Indonesia bisa maju, lha yang mimpim PSSI aja Nurdin Halid, narapidan.. wes.. wes.. edan tenan, eman-eman AREMA jadi kambing hitam…………..” pak sopir masih meneruskan pembicaraannya yang membuat ku tak bisa turun untuk ganti angkot…..
OUGHHHH.. benar-benar hari yang menyebalkan, akhirnya aku terlambat masuk kantor dan mendapat teguran dari bos ku.
XXX
Ya.. itulah sebagian cerita dari perjalananku setiap pagi menuju tempat kerja, seperti yang kubilang ‘takdir’ yang membawaku untuk naik ke dalam mikrolet dengan berbagai karakter manusia di dalamnya. Entah siapa yang akan kutemui dalam mikrolet besok. Mungkin saja aku akan bertemu teman lama ku, mantan pacarku, atau bahkan seorang calon artis ataupun calon presiden. Nikmati setiap perjalanan, karena setiap detik semuanya bisa berubah.. karena hidup memang seperti coklat…

XXX


(29 Dec 07)

Senin, 13 Oktober 2008

Just Read!!!!

BARONGSAI DAN SERIMPI
Oleh : KIE

“Sampai kapan?” tanyaku pada Gian
“Sabar lah Lia, semuanya butuh Proses.. perlahan-lahan aku akan bicara pada orang tua ku”
Janji Gian itulah yang selalu membuatku kuat menerima cobaan, kupikir semua akan berakhir bahagia.
***

Tan Yok Gian, itulah nama lengkapnya. Semenjak aku mengenal Gian 3 tahun yang lalu, hari-hari ku tak pernah sepi lagi. Kami teman sekelas sejak SMA, rumahnya pun tak jauh dari tempat tinggal ku, Gian begitu baik pada ku, dan yang paling penting kami sama-sama saling mencintai. Semua sepertinya berjalan baik-baik saja. Sampai….
“Hallo” aku menjawab panggilan telpon di ponsel ku.
“ Berapa kali harus di bilang jangan dekati si-Gian lagi!! Lu Olang tidak tahu aturan!! Awas Lu!!”
Tut.. tut.. tut…
Tanpa harus memberitahu namanya pun aku sudah tahu siapa penelpon tadi. Ya.. ibu Gian tak pernah merestui hubungan kami, 3 tahun pacaran sembunyi-sembunyi. Rupanya hati Tan Yok Pai, ibunya, tak pernah luluh dan bisa menerima kehadiranku. Kejadian seperti ini bukanlah yang pertama kali…
“Gian, ibu mu baru saja menelpon ku sepertinya dia tau kalau kita jalan berdua lagi” aku segera menghubungi Gian.
“aku sudah tahu Lia, sebaiknya kau tutup dulu telponnya. Ibu ku sedang mendiskusikan masalah ini dengan ayahku. Nanti ku hubungi lagi.”
***

Malam ini entah mengapa terasa sulit bagiku untuk memejamkan mata sekedar untuk beristirahat. Tiga jam terbaring di atas kasur tapi bisa tidur, kulihat jam menunjukkan pukul dua lebih empat menit. Hanya kesunyian yang menggema dalam kamarku. Sudah dua hari sejak kejadian Tan Yok Pia menelpon, Gian belum juga menghubungi ku. Aku jadi teringat saat-saat pertama bertemu dengan Gian.
Matanya yang sipit, kulitnya yang putih, badannya yang tegap, gaya bicara dan santun bahasanya ketika membaur dengan orang lain, membuatnya tampak beda dengan warga keturunan kebanyakan. Ya.. Gian memang bukan seorang Pribumi. Nenek moyang nya berasal dari tiongkok. Ayah dan ibunya berdagang kain di pasar. Keluarganya sangat sederhana dan masih memegang teguh adat, tak pernah absen pergi ke klenteng.
Gian sangat pandai di sekolah, suatu kali pernah dia bercerita kepada ku, orang tuanya memberi dua pilihan ketika menjelang kelulusan SMP. Mau meneruskan sekolah dengan syarat harus berprestasi supaya berhasil kelak atau mengikuti jejak orang tuanya, berdagang. Pilihan yang cukup sulit. Tapi Gian lebih memilih meneruskan sekolah untuk mengejar cita-citanya, menjadi wartawan.
Gian memang bukan seperti warga keturunan kebanyakan. Dia tak pernah merasa minder menjadi warga minoritas. Dan dia tak pernah canggung untuk bergaul dengan siapa saja. Bahkan dengan orang tua ku sekalipun, Gian mudah akrab. itulah yang membuatku semakin cinta padanya.
Ponselku berdering…. ‘GIAN’
“hallo Gian… sudah lama aku menunggu telponmu”
“Maaf ya Lia, aku baru bisa menghubungi mu… kamu belum tidur?”
“mana bisa aku tidur!!! Mikirin kamu terus!!! Hmm… bagaimana ibumu? Apa dia marah?”
“ya.. seperti biasa, di omelin lagi.” Jawabnya lirih
“trus???” aku sedikit kecewa mendengarnya.
“sudahlah, toh bukan pertama kalinya hal seperti ini terjadi, orang tua ku masih belum paham juga kalau perbedaan diantara kita bukan lah sesuatu yang patut di takuti. Yang menjalani kan kita berdua bukan mereka. Aku yakin suatu hari nanti mereka bisa menerima semua ini, batu saja kalau di tetesi air terus-menerus juga akan lapuk, hati ibuku pasti juga akan seperti itu”
Mendengar perkataan Gian membuat ku tenang dan memberiku kekuatan untuk terus bertahan memperjuangkan cinta kami.
***

Tahun berlalu…..
“Sampai kapan?” kata ini terucap lagi dari mulutku untuk keseribu kali.
Gian hanya bisa tertunduk.
Aku baru saja menceritakan kejadian kemarin malam. Tan Yok Pia melabrak kerumah ku. Dia mencium gelagat kami berdua yang masih saja menjalin hubungan tanpa sepengetahuannya. Untung saja orang tua ku sedang tidak ada di rumah.
“sudah hampir lima tahun kita seperti ini, sembunyi-sembunyi dari ibumu. Aku juga ingin seperi perempuan lain, yang bisa leluasa pacaran dan menunjukkan rasa cintanya tanpa harus di sembunyikan!!” aku meluapkan emosiku.
“sudahlah Lia, jangan kau bicarakan dulu masalah ini. besok imlek, aku tak mau konsentrasiku jadi buyar gara-gara banyak masalah. Malam tanggal 30 bulan ke-12 penanggalan Imlek, Chuxi adalah malam terakhir menjelang hari Tahun Baru Imlek. Chuxi itu berarti mencabut malam terakhir supaya menyongsong kedatangan tahun yang baru Jadi Aku mohon kali ini kamu jangan mambicarakan masalah ini dulu ya. Tak baik membicarakan hal yang buruk menjelang Imlek”
Aku tak bisa berkata-kata lagi, aku cukup toleran mengenai hal itu.
“Malam nanti aku akan membantu ibuku membersihkan rumah dan memasang kuplet serta lampion untuk perayaan besok, mungkin dalam minggu-minggu ini aku belum bisa menemuimu. Aku harap kau bisa bersabar”
Aku hanya mengangguk.
“oh ya.. kita bisa bertemu pada perayaan Capgome, pada malam 15 hari bulan, bulan pertama Imlek China. Orang tuaku akan merayakan Capgome di Bangka. Jadi kita bisa bebas bertemu! Aku akan mengajak mu melihat pesta lampu di klenteng”
***

Tahun berlalu….
“sampai kapan?” terucap lagi
“usia kita tak muda lagi Gian, sampai kapan kau memberi janji-janji padaku? Sampai kapan orang tua mu tak bisa menerimaku? Delapan tahun kita pacaran tapi semuanya tidak pernah berubah!!! Sampai kapan kau suruh aku untuk bersabar!!! Malah ku dengar dari Rian sahabatmu kalau kau sudah di jodohkan dengan wanita lain?” aku benar-benar emosi.
“Lia.. sabar!!!” Gian mencoba menenangkan ku
“sabar?!! Apa yang salah dengan ku Gian? Aku mencoba untuk berbaik hati dengan keluargamu meskipun mereka tak pernah mempedulikanku! Tapi apa yang ku dapat??? Sabar??? Apa hanya karena aku jawa dan kau Cina??? Ini benar-benar tak adil Gian!! Lantas mengapa Tuhan mempertemukan kita berdua? Mengapa kita bisa saling jatuh cinta? Salahkah Tuhan Menciptakan Cinta????”
“jangan menyalahkan Tuhan, Lia!!!” Gian mencoba menyadarkan ku.
“Aku sudah cukup bersabar Gian..” aku mulai meneteskan air mata.
“aku juga mencoba untuk terus bersabar…aku bisa saja mengajakmu kawin lari, aku bisa saja menghamilimu terlebih dahulu supaya kita bisa menikah, tapi aku masih menghormati orang tuaku Lia” Gian mengelus rambutku.
“INI TIDAK ADIL!!!!” aku menepis tangan Gian dan berlari meninggalkannya di kegelapan malam…
***

Empat tahun semenjak kejadian malam itu aku tak pernah bertemu Gian, dia pun tak pernah mencoba menghubungiku. Entah karena sudah tidak ada rasa cinta lagi atau memang dia sudah menyerah dengan keadaan. Yang ku dengar dia sudah menikah dengan wanita hasil perjodohan ibunya. Aku memang sengaja memilih untuk mengasingkan diri di rumah nenek ku di Jogja. Bekerja paruh waktu dan mencoba untuk melupakan masa lalu ku dengan Gian. Hatiku benar-benar hancur kala itu. Untung saja aku tidak menjadi gila.
Hari ini aku kembali lagi ke kampung halaman ku Malang, tempat semua kenangan ku bersama Gian, delapan tahun mengisi hari-hariku. Tapi rupanya Cinta saja tak cukup untuk mempersatukan perbedaan. Sampai sekarang pun aku merasa ini semua tak adil. Gian sudah menikah dengan wanita pilihan ibunya, walau mungkin tak ada cinta di antara mereka berdua, sedangkan aku? Di usia ku yang ke 28 masih belum menemukan jodoh, hanya karena memperjuangkan CINTA. Sekarang aku hanya bisa menyesali nasib ku.
Aku berdiri di depan Klenteng. Gemerlap lampion dan bau dupa menyeruak dari dalam klenteng. Ya.. malam ini adalah perayaan Capgome atau perayaan lampu. Aku teringat beberapa tahun lalu ketika Gian mengajak ku melihat gemerlapnya lampu dan lampion di Klenteng ini. Hari ini sangat ramai, aku tak bisa masuk dan hanya berdiri memandangi kilauan lampion dari luar Klenteng. Tanpa terasa air mata mulai mengalir di pipi ku. Aku tak sanggup berdiri dan segera berpaling meninggalkan klenteng.
Brukkkk…
“Aduh…”seseorang menabrak lenganku dan hampir membuatku terjatuh.
“ops.. Maaf Mbak, ada yang luka??” lelaki itu memandangiku.
Entah mengapa jantungku berdetak cukup kencang, Pria ini bermata sipit, mirip sekali dengan Gian. Usianya pun kurasa tak jauh beda.
“Mbak?? Koq diam saja?” dia mencoba membantu mengambil tasku yang terjatuh.
“mbak sakit? Koq pucat sekali? Habis menangis? Ehm.. nama saya Liu Heng, nama mbak siapa? Mau lihat Capgome ya?” Pria ini terus mendesak ku.dan membimbingku duduk di pelataran Klenteng, menjauh dari keramaian.
“oh iya.. ini ada Onde-onde. Bukan Onde-onde biasa lho, tapi terbuat dari tepung gandum, ini…” Pria ini menyodoriku onde-onde. Aku mengambilnya namun terus terdiam tak tahu harus berbicara apa.
“mbak tahu tidak, Menikmati onde-onde adalah adat istiadat utama pada Hari Capgome. Onde-onde adalah sejenis kuih bebola yang mengandung isi manis yang bermakna seluruh keluarga berkumpul dan juga kesenangan. Adat istiadat menikmati onde-onde pada 15 hari bulan bulan pertama Imlek cina diwarisi hingga sekarang.” Pria ini benar-benar mengingatkanku pada Gian, dialah yang selalu memberiku informasi tentang kebudayaan tionghoa.
“koq diem aja?? Di makan donk Mbak, sepertinya mbak lagi sakit ya? Wajahnya pucat sekali. Ayo.. cobain donk Onde-ondenya, halal koq. Buat sekedar ngisi perut dari pada sakit. Kata pepatah di Tiongkok, makan makanan bergizi lebih baik dari pada makan obat. Masa mbak lebih pilih makan obat sich dari pada makan onde-onde dari saya hehe..”
Aku mulai menyuapkan Onde-onde itu dalam mulut ku dan masih terdiam.
“ehm.. mbak rumahnya dimana? Ehm.. nanti boleh saya antarkan mbak pulang? “
Entah apa maksudnya yang jelas jantungku berdegup lebih kencang, kenapa harus di klenteng ini? Kenapa Tuhan mempertemukanku dengan Pria ini? Kenapa dia begitu baik padaku? Apa aku hanya gede rasa? Perasaan ini muncul lagi, apa aku jatuh cinta lagi? Apa aku jatuh cinta dengan orang tionghoa lagi?
Tiiidddaaaakkkkkk…………….
***

March, 24th 2008