Senin, 13 Oktober 2008

Just Read!!!!

BARONGSAI DAN SERIMPI
Oleh : KIE

“Sampai kapan?” tanyaku pada Gian
“Sabar lah Lia, semuanya butuh Proses.. perlahan-lahan aku akan bicara pada orang tua ku”
Janji Gian itulah yang selalu membuatku kuat menerima cobaan, kupikir semua akan berakhir bahagia.
***

Tan Yok Gian, itulah nama lengkapnya. Semenjak aku mengenal Gian 3 tahun yang lalu, hari-hari ku tak pernah sepi lagi. Kami teman sekelas sejak SMA, rumahnya pun tak jauh dari tempat tinggal ku, Gian begitu baik pada ku, dan yang paling penting kami sama-sama saling mencintai. Semua sepertinya berjalan baik-baik saja. Sampai….
“Hallo” aku menjawab panggilan telpon di ponsel ku.
“ Berapa kali harus di bilang jangan dekati si-Gian lagi!! Lu Olang tidak tahu aturan!! Awas Lu!!”
Tut.. tut.. tut…
Tanpa harus memberitahu namanya pun aku sudah tahu siapa penelpon tadi. Ya.. ibu Gian tak pernah merestui hubungan kami, 3 tahun pacaran sembunyi-sembunyi. Rupanya hati Tan Yok Pai, ibunya, tak pernah luluh dan bisa menerima kehadiranku. Kejadian seperti ini bukanlah yang pertama kali…
“Gian, ibu mu baru saja menelpon ku sepertinya dia tau kalau kita jalan berdua lagi” aku segera menghubungi Gian.
“aku sudah tahu Lia, sebaiknya kau tutup dulu telponnya. Ibu ku sedang mendiskusikan masalah ini dengan ayahku. Nanti ku hubungi lagi.”
***

Malam ini entah mengapa terasa sulit bagiku untuk memejamkan mata sekedar untuk beristirahat. Tiga jam terbaring di atas kasur tapi bisa tidur, kulihat jam menunjukkan pukul dua lebih empat menit. Hanya kesunyian yang menggema dalam kamarku. Sudah dua hari sejak kejadian Tan Yok Pia menelpon, Gian belum juga menghubungi ku. Aku jadi teringat saat-saat pertama bertemu dengan Gian.
Matanya yang sipit, kulitnya yang putih, badannya yang tegap, gaya bicara dan santun bahasanya ketika membaur dengan orang lain, membuatnya tampak beda dengan warga keturunan kebanyakan. Ya.. Gian memang bukan seorang Pribumi. Nenek moyang nya berasal dari tiongkok. Ayah dan ibunya berdagang kain di pasar. Keluarganya sangat sederhana dan masih memegang teguh adat, tak pernah absen pergi ke klenteng.
Gian sangat pandai di sekolah, suatu kali pernah dia bercerita kepada ku, orang tuanya memberi dua pilihan ketika menjelang kelulusan SMP. Mau meneruskan sekolah dengan syarat harus berprestasi supaya berhasil kelak atau mengikuti jejak orang tuanya, berdagang. Pilihan yang cukup sulit. Tapi Gian lebih memilih meneruskan sekolah untuk mengejar cita-citanya, menjadi wartawan.
Gian memang bukan seperti warga keturunan kebanyakan. Dia tak pernah merasa minder menjadi warga minoritas. Dan dia tak pernah canggung untuk bergaul dengan siapa saja. Bahkan dengan orang tua ku sekalipun, Gian mudah akrab. itulah yang membuatku semakin cinta padanya.
Ponselku berdering…. ‘GIAN’
“hallo Gian… sudah lama aku menunggu telponmu”
“Maaf ya Lia, aku baru bisa menghubungi mu… kamu belum tidur?”
“mana bisa aku tidur!!! Mikirin kamu terus!!! Hmm… bagaimana ibumu? Apa dia marah?”
“ya.. seperti biasa, di omelin lagi.” Jawabnya lirih
“trus???” aku sedikit kecewa mendengarnya.
“sudahlah, toh bukan pertama kalinya hal seperti ini terjadi, orang tua ku masih belum paham juga kalau perbedaan diantara kita bukan lah sesuatu yang patut di takuti. Yang menjalani kan kita berdua bukan mereka. Aku yakin suatu hari nanti mereka bisa menerima semua ini, batu saja kalau di tetesi air terus-menerus juga akan lapuk, hati ibuku pasti juga akan seperti itu”
Mendengar perkataan Gian membuat ku tenang dan memberiku kekuatan untuk terus bertahan memperjuangkan cinta kami.
***

Tahun berlalu…..
“Sampai kapan?” kata ini terucap lagi dari mulutku untuk keseribu kali.
Gian hanya bisa tertunduk.
Aku baru saja menceritakan kejadian kemarin malam. Tan Yok Pia melabrak kerumah ku. Dia mencium gelagat kami berdua yang masih saja menjalin hubungan tanpa sepengetahuannya. Untung saja orang tua ku sedang tidak ada di rumah.
“sudah hampir lima tahun kita seperti ini, sembunyi-sembunyi dari ibumu. Aku juga ingin seperi perempuan lain, yang bisa leluasa pacaran dan menunjukkan rasa cintanya tanpa harus di sembunyikan!!” aku meluapkan emosiku.
“sudahlah Lia, jangan kau bicarakan dulu masalah ini. besok imlek, aku tak mau konsentrasiku jadi buyar gara-gara banyak masalah. Malam tanggal 30 bulan ke-12 penanggalan Imlek, Chuxi adalah malam terakhir menjelang hari Tahun Baru Imlek. Chuxi itu berarti mencabut malam terakhir supaya menyongsong kedatangan tahun yang baru Jadi Aku mohon kali ini kamu jangan mambicarakan masalah ini dulu ya. Tak baik membicarakan hal yang buruk menjelang Imlek”
Aku tak bisa berkata-kata lagi, aku cukup toleran mengenai hal itu.
“Malam nanti aku akan membantu ibuku membersihkan rumah dan memasang kuplet serta lampion untuk perayaan besok, mungkin dalam minggu-minggu ini aku belum bisa menemuimu. Aku harap kau bisa bersabar”
Aku hanya mengangguk.
“oh ya.. kita bisa bertemu pada perayaan Capgome, pada malam 15 hari bulan, bulan pertama Imlek China. Orang tuaku akan merayakan Capgome di Bangka. Jadi kita bisa bebas bertemu! Aku akan mengajak mu melihat pesta lampu di klenteng”
***

Tahun berlalu….
“sampai kapan?” terucap lagi
“usia kita tak muda lagi Gian, sampai kapan kau memberi janji-janji padaku? Sampai kapan orang tua mu tak bisa menerimaku? Delapan tahun kita pacaran tapi semuanya tidak pernah berubah!!! Sampai kapan kau suruh aku untuk bersabar!!! Malah ku dengar dari Rian sahabatmu kalau kau sudah di jodohkan dengan wanita lain?” aku benar-benar emosi.
“Lia.. sabar!!!” Gian mencoba menenangkan ku
“sabar?!! Apa yang salah dengan ku Gian? Aku mencoba untuk berbaik hati dengan keluargamu meskipun mereka tak pernah mempedulikanku! Tapi apa yang ku dapat??? Sabar??? Apa hanya karena aku jawa dan kau Cina??? Ini benar-benar tak adil Gian!! Lantas mengapa Tuhan mempertemukan kita berdua? Mengapa kita bisa saling jatuh cinta? Salahkah Tuhan Menciptakan Cinta????”
“jangan menyalahkan Tuhan, Lia!!!” Gian mencoba menyadarkan ku.
“Aku sudah cukup bersabar Gian..” aku mulai meneteskan air mata.
“aku juga mencoba untuk terus bersabar…aku bisa saja mengajakmu kawin lari, aku bisa saja menghamilimu terlebih dahulu supaya kita bisa menikah, tapi aku masih menghormati orang tuaku Lia” Gian mengelus rambutku.
“INI TIDAK ADIL!!!!” aku menepis tangan Gian dan berlari meninggalkannya di kegelapan malam…
***

Empat tahun semenjak kejadian malam itu aku tak pernah bertemu Gian, dia pun tak pernah mencoba menghubungiku. Entah karena sudah tidak ada rasa cinta lagi atau memang dia sudah menyerah dengan keadaan. Yang ku dengar dia sudah menikah dengan wanita hasil perjodohan ibunya. Aku memang sengaja memilih untuk mengasingkan diri di rumah nenek ku di Jogja. Bekerja paruh waktu dan mencoba untuk melupakan masa lalu ku dengan Gian. Hatiku benar-benar hancur kala itu. Untung saja aku tidak menjadi gila.
Hari ini aku kembali lagi ke kampung halaman ku Malang, tempat semua kenangan ku bersama Gian, delapan tahun mengisi hari-hariku. Tapi rupanya Cinta saja tak cukup untuk mempersatukan perbedaan. Sampai sekarang pun aku merasa ini semua tak adil. Gian sudah menikah dengan wanita pilihan ibunya, walau mungkin tak ada cinta di antara mereka berdua, sedangkan aku? Di usia ku yang ke 28 masih belum menemukan jodoh, hanya karena memperjuangkan CINTA. Sekarang aku hanya bisa menyesali nasib ku.
Aku berdiri di depan Klenteng. Gemerlap lampion dan bau dupa menyeruak dari dalam klenteng. Ya.. malam ini adalah perayaan Capgome atau perayaan lampu. Aku teringat beberapa tahun lalu ketika Gian mengajak ku melihat gemerlapnya lampu dan lampion di Klenteng ini. Hari ini sangat ramai, aku tak bisa masuk dan hanya berdiri memandangi kilauan lampion dari luar Klenteng. Tanpa terasa air mata mulai mengalir di pipi ku. Aku tak sanggup berdiri dan segera berpaling meninggalkan klenteng.
Brukkkk…
“Aduh…”seseorang menabrak lenganku dan hampir membuatku terjatuh.
“ops.. Maaf Mbak, ada yang luka??” lelaki itu memandangiku.
Entah mengapa jantungku berdetak cukup kencang, Pria ini bermata sipit, mirip sekali dengan Gian. Usianya pun kurasa tak jauh beda.
“Mbak?? Koq diam saja?” dia mencoba membantu mengambil tasku yang terjatuh.
“mbak sakit? Koq pucat sekali? Habis menangis? Ehm.. nama saya Liu Heng, nama mbak siapa? Mau lihat Capgome ya?” Pria ini terus mendesak ku.dan membimbingku duduk di pelataran Klenteng, menjauh dari keramaian.
“oh iya.. ini ada Onde-onde. Bukan Onde-onde biasa lho, tapi terbuat dari tepung gandum, ini…” Pria ini menyodoriku onde-onde. Aku mengambilnya namun terus terdiam tak tahu harus berbicara apa.
“mbak tahu tidak, Menikmati onde-onde adalah adat istiadat utama pada Hari Capgome. Onde-onde adalah sejenis kuih bebola yang mengandung isi manis yang bermakna seluruh keluarga berkumpul dan juga kesenangan. Adat istiadat menikmati onde-onde pada 15 hari bulan bulan pertama Imlek cina diwarisi hingga sekarang.” Pria ini benar-benar mengingatkanku pada Gian, dialah yang selalu memberiku informasi tentang kebudayaan tionghoa.
“koq diem aja?? Di makan donk Mbak, sepertinya mbak lagi sakit ya? Wajahnya pucat sekali. Ayo.. cobain donk Onde-ondenya, halal koq. Buat sekedar ngisi perut dari pada sakit. Kata pepatah di Tiongkok, makan makanan bergizi lebih baik dari pada makan obat. Masa mbak lebih pilih makan obat sich dari pada makan onde-onde dari saya hehe..”
Aku mulai menyuapkan Onde-onde itu dalam mulut ku dan masih terdiam.
“ehm.. mbak rumahnya dimana? Ehm.. nanti boleh saya antarkan mbak pulang? “
Entah apa maksudnya yang jelas jantungku berdegup lebih kencang, kenapa harus di klenteng ini? Kenapa Tuhan mempertemukanku dengan Pria ini? Kenapa dia begitu baik padaku? Apa aku hanya gede rasa? Perasaan ini muncul lagi, apa aku jatuh cinta lagi? Apa aku jatuh cinta dengan orang tionghoa lagi?
Tiiidddaaaakkkkkk…………….
***

March, 24th 2008

Tidak ada komentar: