Kamis, 23 Oktober 2008

Voice Whitin'

VOICE WITHIN

Oleh : Kie


Dia mulai membukaku, siap merajah lembar demi lembar tubuhku…
Hari ini masih sama seperti kemarin, tangannya gemetar tak sanggup meneruskan tulisannya. Sesaat dia berhenti lalu membanjiriku dengan air mata..
Selama dua tahun aku menjadi miliknya, selalu kesedihan yang di ceritakan. Tak jarang kulihat lebam di mata, memar di pipi, dan uraian air mata. Jika aku tak salah, sudah hampir dua tahun pula dia menikah dengan tengkulak itu. Dia bahkan pernah bercerita tak ingin memiliki keturunan karena takut sifat arogan dan ringan tangan sang suami menurun pada sang anaknya.
Alia nama wanita itu, usianya masih dua puluh lima tahun. Sejak usaha milik sang suami mengalami kebangkrutan, biduk rumah tangganya pun mulai kisruh dan tiada hari tanpa pertengkaran. Lelaki yang dulu sangat mencintainya entah mengapa sekarang menjadi sering gelap mata, sekecil apapun kesalahan yang dilakukan Alia tak pernah luput dari amuknya. Alia semakin tak berdaya dan selama itulah dia mulai akrab denganku.
Hampir setiap hari dia mencurahkan isi hatinya padaku, semua bercerita tentang kekerasan yang dilakukan suaminya. Yah…mungkin hanya aku yang paling di percaya, dan sepertinya Alia tak berani menceritakan segala kejadian yang dialaminya pada orang lain sekalipun sahabatnya.
**


Hari ini Alia menjumpaiku lagi dan mulai mencurahkan keluh kesah. Entah setan apa yang merasuki suaminya, hanya karena secangkir kopi yang terlalu manis dia mendapatkan hadiah cacian dan tamparan. Rupanya kali ini dia sudah di ambang batas sabar, wajahnya nanar… sempat dia mengutarakan niatnya untuk mengakhiri hidupnya supaya bisa terlepas dari beban penderitaan. Seandainya aku bisa berbicara, aku ingin mengatakan bahwa hanya seorang pengecut saja yang mampu membunuh dirinya sendiri..
Lantas….
Ah.. dia tak bisa melanjutkan ceritanya karena sang suami tiba-tiba datang. Dengan sigap Alia menyembunyikanku di bawah kasur..
Entah apa yang terjadi selanjutnya aku tak bisa melihat, yang kudengar hanya suara sayup-sayup Alia tertawa..
TERTAWA??!!
Hmm… suatu yang asing bagiku karena sudah lama aku tak pernah mendengarnya tertawa.
Apakah ini pertanda baik??
**


Rentang seminggu dia baru menjumpaiku. Tak seperti biasa hari ini wajahnya di hiasi senyum. Hanya cerita singkat yang dia sampaikan padaku…
Sang suami baru saja mendapat jatah pembagian warisan dari almarhum orang tuanya, jumlahnya cukup banyak bahkan sangat banyak hingga mampu membeli rumah di tengah kota yang harganya mahal. Alia akan segera meninggalkan rumah kontrakan yang serba sempit ini dan tinggal di rumah baru.
**


Dua bulan berlalu Alia tak pernah menemuiku, menyapaku saja tidak..
Aku kedinginan karena kasur tempatku berlindung sudah dibereskan.. DIBERESKAN??!! Apa mungkin mereka sudah pindah? Ya.. sekelilingku memang sudah kosong, tapi mengapa Alia tak mengajakku?
Aku rindu Alia, tak pernah lagi kulihat tangisan dan keluh yang dia curahkan padaku. Teriakkan suaminya juga tak pernah bergema lagi, malah terakhir kali yang kudengar hanya canda tawa mereka.. syukur jika suami Alia bisa berubah tidak seperti dulu lagi..
Hey.. mungkinkah karena mereka sekarang sudah kaya sehingga tak ada lagi pertengkaran? Mungkin mereka sudah bahagia dengan limpahan harta yang bisa membuat manusia ‘buta’…
OUCH… aku terjatuh dari dipan reyot yang selama ini ku tempati. Kenapa tidak ada yang menolongku? Padahal suara jatuhku cukup keras. Ini membuatku semakin yakin bahwa mereka benar-benar sudah pindah. Tapi mengapa Alia tidak membawaku? Bukankah aku satu-satunya tempat untuk mencurahkan isi hatinya? Yang selalu ada saat hatinya terluka. tapi mengapa dia tidak mengingatku?
Apakah Alia termasuk kebanyakan manusia yang selalu di butakan oleh kebahagiaan?? Selalu bersimpuh pada Tuhan, mengingat Tuhan jika dalam masalah tetapi lupa bila sudah di limpahi bahagia??
Sama halnya denganku… yang selalu dicari ketika susah, namun sekarang terlupakan. Seandainya aku bisa menuntut!! Kurang setiakah aku selama ini?! Tapi mengapa dia tak membalas kesetiaanku? Mengapa dia tak setia padaku?!
Andai aku bisa berteriak… tapi apa dayaku, aku hanyalah buku harian yang terlupakan…

***

Tidak ada komentar: